Wednesday, March 05, 2008

tentang menjadi perempuan

Kemaren gue dateng ke acara presentasi paper Mahasiswa Berprestasi Administrasi (Mapres ADM) yang digelar himpunan jurusan gue, dan sebagai badan pengurus hariannya tentu gue hadir. Kebetulan salah satu paper yang dipresentasiin judulnya ‘Figur Perempuan Indonesia yang Tepat untuk Pembangunan’. Dan kebetulan ketika duduk di auditorium kampus yang bikin menggigil kedinginan itu gue sedang sakit pinggang akut akibat kodrat gue sebagai perempuan yang setiap bulan menitahkan tubuh gue mesti menanggung ngilu luruhnya dinding rahim. Merasa sangat perempuan saat itu, jadinya gue ingin nulis tentang apa rasanya menjadi perempuan.

Banyak orang – perempuan yang merasa termarginalisasikan, terdiskriminasi karena ia seorang perempuan. Mungkin contohnya kaum feminis? Ngga tau juga karena gue kurang paham nilai-nilai kaum feminis. Anyways, isu ini yang diangkat sama paper ade kelas gue kemarin itu.

Tapi menurut gue being a woman isn’t that bad. Kesempatan yang kita peroleh merata kok, kalaupun masih ada dikotomi ‘perempuan itu tempatnya di dapur’ di beberapa sudut gelap masyarakat kita itu hal yang wajar. Bagaimanapun proses berubahnya pola pikir masyarakat kan sesuatu yang evolutif, apalagi terkait dengan akar kebudayaan melayu kita yang patriarki akut. Yang terpenting adalah perubahan terus terjadi dan mau ngga mau sudut-sudut gelap itu akan menjadi terang juga.

Gue sendiri melihat ‘penempatan awal’ perempuan di dapur itu merupakan sebuah privilege. Apalagi dengan perkembangan jaman, sehingga sangat luwesnya ‘penempatan’ itu, perempuan jaman sekarang bisa memilih dimana tempatnya, didapurkah atau di meja kerja bersama laki-laki. Itu artinya kita perempuan lebih bebas memilih calling kita yang mana yang mau kita jawab. Kita boleh mencetak prestasi di kantor memenuhi kebutuhan aktualisasi diri. Ini memang kodrati manusia dan memberi kita jawaban pada masyarakat kita yang semakin materialistis bahwa ‘gue juga bisa sehebat laki-laki’. (karena kita memang bisa kan? ;D) Atau menjawab our true nature’s calling which is to nurture a family and conserve human race, menjawab tuntutan masyarakat dengan cara yang agak berbeda : menciptakan generasi muda (baca: keturunan) yang berkualitas. Cara yang terakhir ini sepertinya emang lebih sulit dan menantang, tapi itu dia kodrat perempuan.

Gue sendiri bercita-cita menjadi perempuan ideal yang bisa memenuhi keduanya. Mengaktualisasi diri dan kemudian menjadi pelestari ras manusia, karena menjadi ibu yang cerdas tentunya akan sulit dilakukan kalo kita tidak mengaktualisasikan diri dengan baik. Karena self actualization leads to satisfaction, satisfaction leads to happiness, and happiness to.. hati yang ikhlas. Dan kalau melihat ibu gue sendiri dan teman atau tante-tante gue yang sudah jadi ibu, rasanya satu nilai moral yang paling penting dalam menjadi seorang ibu adalah: ikhlas.

Jadi perempuan itu sebetulnya sebuah berkah. Lagi-lagi setidaknya, menurut gue. Kalau mau dibanding-bandingin dengan laki-laki rasanya ngga perlu. Toh emang dari sononya beda, bentuknya, cara pikirnya, semuanya. Calling mereka juga berbeda. Ngga ada untungnya menurut gue kalau kita perempuan berusaha terlalu keras bersaing sehingga berusaha hidup seperti laki-laki yang sejatinya ya menjawab calling laki-laki. Hal ini banyak ditemuin di dunia kerja yang memang sebagai tempat pencarian nafkah sudah puluhanjuta tahun jadi situs hidupnya maskulinitas.

Konon katanya menurut para perempuan yang sudah berhasil mencapai level teratas tangga korporat itu, mereka menyesal telah memanjatinya sendirian, lupa menjawab calling mereka yang kedua itu, terlalu sibuk menyamai kolega laki-lakinya. Karena at the end of the day apa-apa yang mereka capai itu tidak bisa digunakan untuk menurture apapun kecuali ego mereka yang terlanjur luka. Kemudian kata wanita-wanita karir lain dari seluruh kejadian dalam hidupnya tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada menyaksikan anak mereka tumbuh besar, naik jabatan itu ngga ada apa-apanya. Dan tentu yang paling beruntung ibu-ibu rumah tangga yang bekerja. Alias wanita yang pekerjaan utamanya adalah menjadi ibu tapi tetap punya karir sebagai tempat aktualisasi dirinya.

Jadi perempuan itu sebuah berkah dan nikmat, we’re allowed to pick the best of both worlds. Tapi kita perempuan juga mesti berhati-hati, pintar-pintar memilih. Kesempatan memilih yang terbuka lebar memang selalu baik tapi juga membuka kesempatan salah pilih yang lebih lebar juga.

No comments: